Pati - Dengan potensi 250 juta di Indonesia, ponsel
diyakini sebagai media iklan yang sangat efektif. Namun perlu disadari,
ponsel adalah medium pribadi, bukan media massa yang bebas dijejali
pengiriman pesan SMS secara broadcast.
Perdebatan ini mewarnai pembahasan tentang aturan jasa pesan premium dan pengiriman SMS ke banyak tujuan (SMS broadcast) yang akan tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Kominfo No. 1/2009.
Aturan ini sendiri tengah digodok oleh Kementrian Kominfo bersama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan baru akan diterbitkan akhir 2012 ini setelah mendapat masukan dari publik.
Belum juga disahkan, namun para pelaku di bisnis konten mulai kebat-kebit dengan aturan baru ini. Salah satu pasal yang disorot adalah masalah kebijakan "option in" untuk penawaran konten ke banyak tujuan yang diatur dalam pasal 23.
Option in merupakan mekanisme pengiriman konten premium melalui persetujuan pelanggan sebelum konten dikirimkan. Dalam Pasal 23 dinyatakan persetujuan dapat diperoleh melalui pesan singkat dan/atau pernyataan tertulis kepada Penyelenggara Jasa.
Penawaran konten ke banyak tujuan hanya dapat dilakukan untuk menawarkan konten baru kepada pelanggan dan tidak membebankan biaya pengiriman.
Kasubdit Tata Kelola Keamanan Informasi Direktorat Jenderal Keamanan Informasi, Ditjen Aptika Kementerian Kominfo Hasyim Gautama menjelaskan dijatuhkannya pilihan ke option in karena tak mau kasus "pencurian pulsa" terulang lagi.
Menurutnya, pelanggan kerap dikirimi SMS pancingan supaya tahu nomor yang dikiriminya aktif atau tidak, setelah itu berbondong-bondong penawaran masuk. Apesnya, saat membalas SMS, pulsa ikut tersedot.
"Kami ingin mencegah hal itu tidak terjadi dengan option in. Modus sebelumnya memanfaatkan kelemahan konsumen yang tidak tahu sedang dipancing," kata Hasyim di Jakarta.
"Kami tidak mau disalahkan lagi karena tidak melindungi masyarakat. Pilihan ini sesuai yang ada di UU, bahwa pengiriman konten harus mendapatkan persetujuan pribadi. Pasalnya ponsel itu media pribadi, beda dengan televisi,” tegasnya.
Division Head Gaming & Content Indosat Andri Fisaterdi mengingatkan, aturan yang dibuat ini tidak boleh menghambat kreativitas industri kreatif dan menghilangkan aura suasana yang bebas tapi bertanggung jawab.
"Kalau memang butuh pembatasan, lebih baik diserahkan ke industrinya. Self regulated dari operator, Content Provider (CP) yang mengatur secara teknisnya. Pasalnya konten akan menjadi tulang punggung industri telekomunikasi layaknya di Jepang dan Korea," katanya.
Menurutnya option in bukan satu-satunya cara untuk menghindari pesan sampah masuk ke ponsel pelanggan. Masih ada "option out" yakni konten premium dikirimkan ke semua pelanggan kemudian menyusul persetujuan pelanggan.
Bahkan, kompromi bisa dilakukan dengan menerapkan option out dengan profiling yang kuat atau mekanisme pengiriman konten berdasarkan klasifikasi kebutuhan setelah sebelumnya meminta persetujuan pelanggan.
"Masalahnya di Indonesia industri mobile advertising itu baru tumbuh. Jika nilai bisnis industri periklanan itu ada sekitar Rp 60-Rp 70 triliun, porsi mobile advertising sekitar 1% atau sekitar Rp 400 miliar. Saya lebih setuju option out dengan profiling yang kuat agar mobile advertising tidak mati," jelasnya.
GM VAS XL Revie Sylviana mengakui penerapan option in akan memacu dilema karena pengaturannya dari sisi CP.
"Hal yang harus diingat, mobile advertising sekarang sudah mulai dilirik oleh brand owner sehingga tahap edukasi bisa ditingkatkan ke awareness" katanya.
CEO Jatis Mobile Erik Rivai Ridzal memastikan jika pilihan jatuh ke option in maka mobile advertising ikutan sekarat.
"Broadcast ke banyak tujuan diregulasi akan membuat mobile advertising yang baru tumbuh bisa mati," sesalnya.
Dikatakannya, broadcast jangan dianggap sebagai sampah karena sekarang banyak korporasi menggunakannya dan semua menjaga citra perusahaan.
"Perbankan menggunakan ini dan mereka sangat menjaga citra perusahaan," katanya.
Belum lagi model baru dari mobile advertising yang berbasis Location Based Services (LBS) dimana banyak dimanfaatkan Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk berpromosi.
"Mobile advertising sangat murah dibandingkan media mainstream. Harganya sangat terjangkau, hanya Rp 500 ribu untuk 1000 orang," katanya.
Perlu diketahui, sebelum BRTI menitahkan unreg massal konten premium terjadi Oktober 2011 lalu, pelanggan banyak mengeluhkan pola mobile advertising berbasis teknologi Pop Screen dan LBS.
Pop Screen adalah platform yang ditanam di sim card dan otomatis jalan ketika kartu diaktifkan. Sedangkan LBS banyak yang redaksional informasinya misleading sehingga merugikan pelanggan.
Sekjen Indonesia Mobile & Online Content Provider Association (IMOCA) Ferrij Lumoring menjelaskan, posisi mobile advertising dalam dunia periklanan untuk mengisi strategi above dan below the line.
"CP ini adalah industri kreatif. Terlalu banyak aturan dan kewajiban justru membunuh industri ini," tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengakui bisnis mobile advertising melalui ponsel menggiurkan karena di Indonesia ada 250 juta sim card yang aktif.
"Ini kan masalah rating. Kalau dikirimi semua pesan bayangkan berapa jangkauan pesannya. Tetapi harus diingat, ponsel itu media pribadi dan dilindungi privasinya. Option in itu tidak harus melalui SMS, bisa juga melalui mengisi formulir asal jangan tricky saja syaratnya," ingatnya.
Sementara itu, Peneliti dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengingatkan, hak pelanggan harus dihargai jika tidak mau menerima pesan.
"Industri telekomunikasi ini sangat beradab. Option out itu suatu kompromi dan seharusnya regulator bersedia berdiskusi," katanya.
Untuk diketahui, jika tidak ada kejadian 'Black October', mobile advertising diperkirakan akan berkibar di Indonesia pada 2012 sebagai media alternatif untuk beriklan dengan pertumbuhan 30%-60%.
Pada tahun 2010 lalu jumlah pencapaian periklanan mobile di Indonesia hanya sebesar 0,03% dari total belanja iklan yang mencapai USD 3,67 miliar.
Telkomsel saja, pernah memperkirakanmobile advertising dapat menyumbang Rp 150 miliar hingga Rp 250 miliar kepada total pendapatan Telkomsel tahun ini. Dan dalam jangka waktu lima tahun mendatang bisa mencapai Rp 2,5 triliun.
Perdebatan ini mewarnai pembahasan tentang aturan jasa pesan premium dan pengiriman SMS ke banyak tujuan (SMS broadcast) yang akan tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Kominfo No. 1/2009.
Aturan ini sendiri tengah digodok oleh Kementrian Kominfo bersama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan baru akan diterbitkan akhir 2012 ini setelah mendapat masukan dari publik.
Belum juga disahkan, namun para pelaku di bisnis konten mulai kebat-kebit dengan aturan baru ini. Salah satu pasal yang disorot adalah masalah kebijakan "option in" untuk penawaran konten ke banyak tujuan yang diatur dalam pasal 23.
Option in merupakan mekanisme pengiriman konten premium melalui persetujuan pelanggan sebelum konten dikirimkan. Dalam Pasal 23 dinyatakan persetujuan dapat diperoleh melalui pesan singkat dan/atau pernyataan tertulis kepada Penyelenggara Jasa.
Penawaran konten ke banyak tujuan hanya dapat dilakukan untuk menawarkan konten baru kepada pelanggan dan tidak membebankan biaya pengiriman.
Kasubdit Tata Kelola Keamanan Informasi Direktorat Jenderal Keamanan Informasi, Ditjen Aptika Kementerian Kominfo Hasyim Gautama menjelaskan dijatuhkannya pilihan ke option in karena tak mau kasus "pencurian pulsa" terulang lagi.
Menurutnya, pelanggan kerap dikirimi SMS pancingan supaya tahu nomor yang dikiriminya aktif atau tidak, setelah itu berbondong-bondong penawaran masuk. Apesnya, saat membalas SMS, pulsa ikut tersedot.
"Kami ingin mencegah hal itu tidak terjadi dengan option in. Modus sebelumnya memanfaatkan kelemahan konsumen yang tidak tahu sedang dipancing," kata Hasyim di Jakarta.
"Kami tidak mau disalahkan lagi karena tidak melindungi masyarakat. Pilihan ini sesuai yang ada di UU, bahwa pengiriman konten harus mendapatkan persetujuan pribadi. Pasalnya ponsel itu media pribadi, beda dengan televisi,” tegasnya.
Division Head Gaming & Content Indosat Andri Fisaterdi mengingatkan, aturan yang dibuat ini tidak boleh menghambat kreativitas industri kreatif dan menghilangkan aura suasana yang bebas tapi bertanggung jawab.
"Kalau memang butuh pembatasan, lebih baik diserahkan ke industrinya. Self regulated dari operator, Content Provider (CP) yang mengatur secara teknisnya. Pasalnya konten akan menjadi tulang punggung industri telekomunikasi layaknya di Jepang dan Korea," katanya.
Menurutnya option in bukan satu-satunya cara untuk menghindari pesan sampah masuk ke ponsel pelanggan. Masih ada "option out" yakni konten premium dikirimkan ke semua pelanggan kemudian menyusul persetujuan pelanggan.
Bahkan, kompromi bisa dilakukan dengan menerapkan option out dengan profiling yang kuat atau mekanisme pengiriman konten berdasarkan klasifikasi kebutuhan setelah sebelumnya meminta persetujuan pelanggan.
"Masalahnya di Indonesia industri mobile advertising itu baru tumbuh. Jika nilai bisnis industri periklanan itu ada sekitar Rp 60-Rp 70 triliun, porsi mobile advertising sekitar 1% atau sekitar Rp 400 miliar. Saya lebih setuju option out dengan profiling yang kuat agar mobile advertising tidak mati," jelasnya.
GM VAS XL Revie Sylviana mengakui penerapan option in akan memacu dilema karena pengaturannya dari sisi CP.
"Hal yang harus diingat, mobile advertising sekarang sudah mulai dilirik oleh brand owner sehingga tahap edukasi bisa ditingkatkan ke awareness" katanya.
CEO Jatis Mobile Erik Rivai Ridzal memastikan jika pilihan jatuh ke option in maka mobile advertising ikutan sekarat.
"Broadcast ke banyak tujuan diregulasi akan membuat mobile advertising yang baru tumbuh bisa mati," sesalnya.
Dikatakannya, broadcast jangan dianggap sebagai sampah karena sekarang banyak korporasi menggunakannya dan semua menjaga citra perusahaan.
"Perbankan menggunakan ini dan mereka sangat menjaga citra perusahaan," katanya.
Belum lagi model baru dari mobile advertising yang berbasis Location Based Services (LBS) dimana banyak dimanfaatkan Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk berpromosi.
"Mobile advertising sangat murah dibandingkan media mainstream. Harganya sangat terjangkau, hanya Rp 500 ribu untuk 1000 orang," katanya.
Perlu diketahui, sebelum BRTI menitahkan unreg massal konten premium terjadi Oktober 2011 lalu, pelanggan banyak mengeluhkan pola mobile advertising berbasis teknologi Pop Screen dan LBS.
Pop Screen adalah platform yang ditanam di sim card dan otomatis jalan ketika kartu diaktifkan. Sedangkan LBS banyak yang redaksional informasinya misleading sehingga merugikan pelanggan.
Sekjen Indonesia Mobile & Online Content Provider Association (IMOCA) Ferrij Lumoring menjelaskan, posisi mobile advertising dalam dunia periklanan untuk mengisi strategi above dan below the line.
"CP ini adalah industri kreatif. Terlalu banyak aturan dan kewajiban justru membunuh industri ini," tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengakui bisnis mobile advertising melalui ponsel menggiurkan karena di Indonesia ada 250 juta sim card yang aktif.
"Ini kan masalah rating. Kalau dikirimi semua pesan bayangkan berapa jangkauan pesannya. Tetapi harus diingat, ponsel itu media pribadi dan dilindungi privasinya. Option in itu tidak harus melalui SMS, bisa juga melalui mengisi formulir asal jangan tricky saja syaratnya," ingatnya.
Sementara itu, Peneliti dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengingatkan, hak pelanggan harus dihargai jika tidak mau menerima pesan.
"Industri telekomunikasi ini sangat beradab. Option out itu suatu kompromi dan seharusnya regulator bersedia berdiskusi," katanya.
Untuk diketahui, jika tidak ada kejadian 'Black October', mobile advertising diperkirakan akan berkibar di Indonesia pada 2012 sebagai media alternatif untuk beriklan dengan pertumbuhan 30%-60%.
Pada tahun 2010 lalu jumlah pencapaian periklanan mobile di Indonesia hanya sebesar 0,03% dari total belanja iklan yang mencapai USD 3,67 miliar.
Telkomsel saja, pernah memperkirakanmobile advertising dapat menyumbang Rp 150 miliar hingga Rp 250 miliar kepada total pendapatan Telkomsel tahun ini. Dan dalam jangka waktu lima tahun mendatang bisa mencapai Rp 2,5 triliun.
0 komentar:
Posting Komentar